Biarkan Bukuku Tetap Kuno

Biarkan Bukuku Tetap Kuno

Prof. Hidayat memenangkan gugatan atas PT Anugerah Mas atas penjualan karya tanpa izin. Atas kemenangannya tersebut beliau mendapatkan ganti rugi moril dan materil sebesar 1,5 milyar rupiah.
Potongan berita yang di muat di Persada.com itu membuat bapak tua itu termangu. Ternyata hatinya tidak gembira dengan kabar tersebut. Jiwanya resah dan gundah. Dalam hati kecilnya dia ingin hidup dengan hal yang baik-baik saja tidak perlu bersiteru seperti ini. Dia yang memenangkan perkara saja ternyata tidak bahagia bagaimana dengan orang yang kalah?
Putranya heran melihat reaksi sang ayah yang di luar dugaan.
“Kenapa Ayah terlihat tidak senang, bukankah ayah sudah menang?”, Tanyanya penuh heran.
“Apanya yang senang. Ayah hanya ingin mempertahankan apa yang Ayah rasa baik. Bukan berseteru apalagi sampai merugikan orang lain”, Nada bicaranya penuh kegamangan. Hal itu membuat si anak lebih heran.
“Ayah tidak merugikan mereka. Tetapi Ayah yang dirugikan. Berapa banyak orang yang bisa menyebarkan karya ayah tanpa izin. Berapa mereka dapat keuntungan dari itu sementara ayah penulisnya tidak dapat apa-apa. Jadi Ayah yang rugi bukan mereka”
Prof Hidayat hanya terdiam, dia tidak ingin memperpanjang perdebatan dengan putra tunggalnya itu. Memang sulit berdiskusi masalah rasa hati. Tidak ada orang yang akan bia memahaminya dengan persis seperti apa yang kita mau. Dan dari situlah masalah ini bermula.
Ruangan redaktur yang biasa ramah kini terasa panas bagi Prof. Hidayat. Pembicaraan mereka yang biasa akrab kini berubah alot. Wajah-wajah di sekelilingnya tegang dan dia tidak bisa menggambarkan rona wajahnya sendiri.
Sebuah kebijakan baru disampaikan oleh pemimpin umum perusahaan, bahwa buku fisik juga akan diterbitkan dalam format digital. Perkembangan dunia sudah sampai pada taraf orang tidak lagi membaca buku fisik, perlahan beralih ke buku digital. Maka semua karya yang akan diterbitkan dalam periode ini akan dibuat dua versi yakni cetak dan digital.
“Saya tidak keberatan dengan kebijakan ini tapi saya tidak mau khusus buku saya dibuat dalam bentuk ebook”, Beliau mencoba memberi penegasan
“Tidak bisa begitu Prof. Mayang Menari ini akan jadi best seller begitu dia di launching. Maka permintaan dalam bentuk digital akan sangat banyak. Kita akan memperoleh banyak keuntungan dari situ”, Budiman direktur bagian pemasaran berbicara penuh semangat.
“Saya tetap tidak setuju. Mayang Menari hanya akan terbit dalam buku fisik. Kalau tidak kontrak kita batal”,Profesor Hidayat sudah mulai hilang kesabaran
“Tidak bisa begitu Prof. Kontrak sudah kita tandatangani lama. Uang muka juga sudah diberikan dan tidak ada jalan untuk pembatalan. Kita hanya mengubah sedikit saja dari format penerbitan, tidak menyalahi kontrak”. Suara direktur pemasaran itu juga sudah mulai bergetar.
Pembicaraan deadlock, tidak ada yang mau mengalah dan tidak ada jalan tengah yang bisa disepakati. Rapat hari itu terasa bagai bencana. Mereka sudah mengalami rapat-rapat berat sebelumnya. Mereka sudah bekerja sama selama enam tahun dan Profesor Hidayat sudah menerbitkan sepuluh karyanya dalam kurun waktu itu. Rapat panas mereka di seputar lay out, sampul atau stretegi pemasaran. Walaupun berat tapi selalu berakhir indah. Tetapi tidak untuk sekali ini, ujungnya tidak terlihat cerah.
Ketegangan rapat kali itu berlanjut di rapat-rapat selanjutnya. Tidak menemukan kata mufakat. Bahkan lobi ke anak tunggal Profesor Hidayat, Wahyu pun tidak membuahkan hasil.
“Kenapa Ayah begitu keras tidak mau menjadikan Mayang Menari dalam bentuk PDF. Kan sama-sama buku. Sama-sama dibaca orang dan Ayah tetap dibayar dengan royaltinya. Hanya beda bentuk aja toh Yah?”.
Profesor Hidayat menarik nafas panjang. “Zaman boleh berubah tapi tidak dengan rasa ayah terhadap buku. Bagi Ayah buku adalah lembaran, aroma tinta, dan bunyi gesekan kertas. Itu tidak bisa tergantikan. Bukan masalah dibaca atau dapat royalti tapi nilai yang ayah pegang”.
“Tapi lama-lama tidak aka nada lagi orang yang akan membaca karya Ayah kalau Ayah keras kepala begitu. Tidak mau ikut kemajuan zaman”.
“Tidak akan ada yang bisa merubah keputusan Ayah. Ini nilai yang Ayah pegang selamanya”.
Wahyu terdiam, ayahnya tidak pernah marah. 28 tahun usianya belum pernah ayahnya berkata dengan menaikkan suara. Dulu ketika masih kecil dan dia melakukan kenakalan-kenakalan ayahnya hanya menatapnya dalam diam. Kalau Wahyu sudah minta maaf baru beliau menjelaskan apa dan kenapanya.
Hari itu ayahnya betul-betul marah dan tentu nilai yang diperjuangkannya tidak sepele. Maka dengan mendekat ke ayahnya Wahyu berujar,
“Ayah selalu punya prinsip dalam hidup. Saya akan mendukung apa yang menjadi keputusan ayah termasuk nanti kalau perlu kita ke pengadilan”.
Melihat sikap anaknya Profesor Hidayat terharu. Anak semata wayang yang senantiasa menemaninya sehari-hari sepeninggal almarhumah isterinya lima tahun yang lalu. Anak kandungnya yang rela melepaskan calon isterinya karena tidak bersedia di bawa tinggal bersama ayahnya. “Jangan khawatir nak, tidak akan sejauh itu”. Ujarnya dalam hati sambil mengelus kepala putranya.
Ternyata keadaan tidak berpihak kepada mereka. Secara sepihak begitu Mayang Menari diluncurkan secara bersamaan versi digitalnya juga dirilis. Dalam waktu sebentar saja pembelinya sudah ratusan orang. Acara konferensi pers yang semula meriah berubah kelabu ketika Profesor Hidayat meninggalkan panggung acara sesudah mengungkapkan kekecewaannya. “Saya dikhianati dan saya tidak ikhlash”, ungkapnya.
Kalimat pendek itu membuat pemburu berita menjadi lebih bersemangat dan terpicu naluri ingin tahunya. Kamera yang awalnya tertuju ke podium sekarang bergerak mengikuti langkah sang profesor menuju mobil. Tak satupun kata yang terucap dari mulut beliau. Dengan bisu dia terus berjalan, masuk dan menutup pintu mobil. Pergi meninggalkan kerumunan masa.
Kehebohan mewarnai hari-hari berikutnya. Kantor PT Anugerah Mas dan rumah kediaman Profesor ramai dikunjungi wartawan. Berita muncul sepihak karena sang professor diam seribu bahasa. Pihak Penerbitan sibuk membuatkan alibi pembenaran atas apa yang sudah terjadi.
Bulan terasa begitu cepat berputar, diamnya sang profesor membuat wartawan akhirnya bersimpati kepada beliau. Mulai bermunculan pembelaan-pembelaan dari beberapa tokoh sampai ada yang mengusulkan untuk menggugat ke pengadilan. Akhirnya sang putra mengambil langkah ini karena kasihan dengan sang ayah yang tertekan selama beberapa waktu.
Rangkaian sidang yang melelahkan. Bolak-balik diminta memberikan keterangan, mendengarkan pendapat saksi ahli atas perkaranya, tuntutan jaksa penilaian hakim sampai hasilnya….
Menang jadi arang, kalah jadi abu begitulah kalau sudah mengambil langkah berperang. Profesor dinyatakan menang dan mendapat ganti rugi tetapi hatinya sedih karena mitra kerjanya selama enam tahun ini mesti menderita kerugian. Dia hanya ingin prinsipnya di hargai bukan materi. Haruskah hubungan baik mereka selama ini harus kandas di meja pengadilan….

Nyalanesia bekerja sama dengan ribuan guru dan kepala sekolah di seluruh Indonesia untuk bersama-sama membangun jembatan literasi agar setiap anak punya kesempatan untuk mewujudkan mimpi.

Pendidikan adalah alat untuk melawan kemiskinan dan penindasan. Ia juga jembatan lapang untuk menuju rahmat Tuhan dan kebahagiaan.

Mendidik adalah memimpin,
berkarya adalah bernyawa.

Nyalanesia bekerja sama dengan ribuan guru dan kepala sekolah di seluruh Indonesia untuk bersama-sama membangun jembatan literasi agar setiap anak punya kesempatan untuk mewujudkan mimpi.

Pendidikan adalah alat untuk melawan kemiskinan dan penindasan. Ia juga jembatan lapang untuk menuju rahmat Tuhan dan kebahagiaan.

Mendidik adalah memimpin,
berkarya adalah bernyawa.

Artikel Terkait

Lembaran Asa yang Kembali Terbit

Lembaran Asa yang Kembali Terbit Rifan’s Meilan Dhani Saputra Di balik lorong yang panjang  Semak belukar kian terbentang Kutemui sebuah asa yang cemerlang  Asa yang menyatu dalam buku usang    Halaman-halaman yang dahulu lenyap Beribu asa yang dulu tiada Kini terbit setelah lama hirap Tertulis dalam akasara amat sederhana   Untaian skenario penuh asa Aksara

Baca selengkapnya...

Tempat Mencari Ilmu

Tempat Mencari Ilmu Khansa Muthmainnah Buku…Kau tempat mencari ilmuDi setiap lembaranmu Tersimpan benih-benih ilmu Apa pun yang kutak tahuSelalu ada di lembaran kertasmuSetiap diriku membacamuKumendapatkan wawasan baru Buku, karnamu diriku mendapatkan berjuta ilmuNamun entah apa yang terjadi pada dirikuSeketika itu…Diriku melupakanmu

Baca selengkapnya...